Selasa, 17 Mei 2011

kebijakan fiskal dan moneter

kebijakan fiskal dan moneter Sebagai dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia di tahun ajaran 1984/1985, saya melakukan inventarisasi kelemahan ekonomi makro Indonesia yang sampai saat ini tidak terpecahkan, bahkan ada beberapa kondisi yang justru makin melemah dan rusak sejak krisis ekonomi 11 Juli 1997. Kelemahan ekonomi makro Indonesia terdiri atas beberapa gejala – indikator kelemahan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang tidak berkorelasi positif dengan kesempatan kerja. Setiap pertumbuhan ekonomi 1% hanya menyerap kesempatan kerja paling banter 300.000, hingga setiap tahun terjadi carry over yang makin besar. 2. Kesempatan kerja produktif makin merosot. Artinya kesempatan kerja tidak memberikan imbal jasa/pendapatan yang mencukupi untuk hidup layak. 3. Terjadi pemborosan ekonomi di tingkat mikro usaha, maupun di tingkat makro nasional/pemerintah (high cost economy). 4. Inflasi dan depresiasi rupiah tidak dapat tertanggulangi, terjadi kemerosotan nilai tukar uang rupiah terhadap barang, jasa dan valuta asing. 5. Neraca berjalan defisit berkelanjutan, cadangan devisa cenderung menurun. 6. Penggalakan ekspor nonmigas tidak berhasil meningkatkan surplus neraca perdagangan. 7. Ekonomi “dikuasai” konglomerat, kartel, kelompok monopolistik pengusaha besar. 8. DSR (debt service ratio) terus meningkat, karena terjadi peningkatan utang baru yang makin besar tiap tahun. Di sisi lain kemampuan membayar utang jatuh tempo (debt-service) makin mengecil karena ekspor yang cenderung makin menurun. Artinya kenaikan total ekspor lebih kecil daripada kewajiban utang jatuh tempo. 9. Alokasi kredit antarsektor/kegiatan ekonomi tidak adil. Sektor pertanian sebagai penyerap tenaga kerja terbesar (di atas 40%), memperoleh 8% outstanding credit dibanding dengan sektor industri dengan daya serap di bawah 12 %, menerima 32% alokasi kredit. 10. Capital shortage yang berlanjut, tabungan dalam negeri; baik bersumber dari tabungan pemerintah (fiskal), maupun masyarakat (tabungan konsumen dan tabungan dunia bisnis/laba yang ditahan) tidak mencukupi untuk sumber dana investasi; sehingga selain utang luar negeri, penarikan modal langsung/PMA cenderung tetap berlanjut, dalam jumlah yang makin besar. 11. Sektor perbankan sebagai lembaga intermediasi, masih tetap belum mampu menekan atau mengendalikan gejala overheated economy, bersumber dari kucuran kredit yang berdampak demand pull inflation. 12. Unggulan daya saing produk yang rendah, baik terhadap barang impor maupun dalam memasuki pasar global. Tentunya 12 gejala yang saya temukan di tahun ajaran 1984/1985 di Fakultas Ekonomi Unpad masih dapat ditambah dengan gejala kelemahan yang lain. Dua belas gejala – indikator kelemahan tersebut, tidak lain karena selama empat dasawarsa (1967-2005) kita tidak berhasil untuk membangun ekonomi makro Indonesia, melalui pendekatan fundamental ekonomi makro kuat. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi makro kuat, prasyaratnya adalah: “Pertumbuhan ekonomi tinggi/GDP/GNP yang meningkat signifikan, minimal 3 kali dari pertumbuhan penduduk (6%/tahun); yang didukung oleh: perluasan kesempatan kerja, tidak terjadi carry over penganggur yang tidak terserap oleh pasar kerja/kenaikan GDP/GNP.” Yang terjadi sekarang bukan saja carry over tenaga kerja yang tidak terserap, tetapi justru bertambah karena PHK atau makin meningkatnya angka pengangguran. Korelasi positif antara pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja, dapat pula tercermin dari dukungan kemampuan pemerintah (fiskal) yang tidak terus menerus defisit, hingga makin tergantung pada utang luar negeri (memperbesar utang) ditambah menutup defisit dengan menjual kekayaan negara (aset negara); kemampuan sektor moneter (bank) sebagai lembaga intermediasi, memupuk modal (simpanan masyarakat) untuk disalurkan sebagai kredit meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (perluasan kesempatan kerja artinya peningkatan pendapatan). Terjadi moral hazard atau penyimpangan dalam penyaluran kredit, terjadi penumpukan kredit macet/non performance loan (NPL). Di samping itu kondisi makro ekonomi/moneter akhir 2005 masih menunjukkan suku bunga tinggi, inflasi tinggi (cost push) dan daya beli masyarakat rendah. Hal ini merupakan refleksi dari rendahnya kredit investasi (19,32% outstanding credit ) dibanding dengan kredit modal kerja (50,9%) dan kredit konsumsi (29,71%). Dari dana pihak ketiga sebesar Rp 1.127,94 triliun, tersalurkan (kredit) Rp 695,69 triliun, dana tidak ditarik (dicairkan) Rp 152 triliun, LDR (nisbah pinjaman terhadap simpanan) 55,02%. Berarti bank mengalami kelebihan likuiditas 44,98% (Kompas, 17 Februari 2006). Selain sektor fiskal dan moneter yang sehat, fundamental ekonomi makro kuat, perlu didukung sektor perdagangan luar negeri yang sehat atau neraca pembayaran yang favorable. Artinya cadangan devisa yang tersedia dan tercatat di Bank Indonesia – sebagai manajer cadangan devisa – merupakan hasil dari surplus ekspor, bukan bersumber dari masuknya modal dari luar negeri, tambahan utang atau arus masuknya asing (PMA). Pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, fiskal, moneter/bank yang sehat dan perdagangan luar negeri yang surplus (cadangan devisa naik, bukan karena tambahan utang), pertumbuhan ekonomi tanpa kerusakan lingkungan (banjir, hutan gundul, polusi air) merupakan prasyarat untuk fundamental ekonomi makro kuat. Bagaimana nilai tukar rupiah tidak merosot/depresiasi yang diakhiri dengan devaluasi, kalau kita tidak berhasil memperbaiki posisi neraca pembayaran, tidak default , nyaris tidak mampu membayar utang luar negeri jatuh tempo. Bagaimana kita dapat mengendalikan inflasi, jika inflasi justru terjadi karena ulah atau kebijakan pemerintah yang menciptakan cost push inflation (kenaikan harga BBM, transport dan menyusul kenaikan TDL). Dalam rumus sederhana maka fundamental ekonomi makro kuat, digambarkan sbb: 1. GNP/GDP = C + I + G + (X – M) didukung oleh bank sebagai lembaga intermediasi. 2. C = f (Y), belanja konsumsi tergantung pada pendapatan (Y) sedang Y = f (N), pendapatan tergantung pada kesempatan kerja (N). 3. N = f (I), kesempatan kerja tergantung pada besar tidaknya ivnestasi. 4. I = f (capital accumulation), akumulasi dana (simpanan) merupakan sumber utama untuk melakukan investasi. 5. G = f (tax revenue), belanja pemerintah (melalui APBN) tergantung pada penerimaan pajak. Jika penerimaan pajak tidak mencukupi maka pemerintah terpaksa mencari dana utang luar negeri atau menjual obligasi (surat pernyataan utang pemerintah). Jika itu pun belum cukup, terpaksa menjual aset. 6. X – M atau total ekspor yang lebih besar daripada impor merupakan prasyarat fundamental ekonomi kuat, karena ekspor merupakan sumber cadangan devisa yang kita perlukan, sekaligus jika mampu mengekspor berarti memperluas kesempatan kerja (N) karena kemampuan produksi yang bertambah (merekrut tenaga kerja baru) untuk dijual di luar negeri (ekspor). Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka sebenarnya masalah atau kelemahan ekonomi Indonesia (12 butir tersebut di atas), sebenarnya dapat kita selesaikan jika kita kembali pada kebijaksanaan ekonomi yang prinsip dasarnya adalah: ekonomi menjadi kuat dan sehat jika kita mengarahkan kebijakan yang memihak pada rakyat; memperluas kesempatan kerja, perluasan kesempatan kerja sama dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Fundamental ekonomi kuat, tidak hanya berindikasi inflasi dan nilai tukar terkendali atau stabil. Ekonomi makro kuat, jika kita bebas dari ekonomi biaya tinggi, produk kita memiliki unggulan daya saing (kompetitif, dengan ekspor lebih besar daripada impor), pemerintah tidak menjadi pemrakarsa terjadinya cost push inflation dan bank tidak menjadi sumber overheated economy (demand pull inflation). Apakah pemerintah menyadari perlunya membangun ekonomi makro fundamental kuat menjadi prioritas utama, ataukah pemerintah mengulang kembali kebijakan yang tidak populer atau tidak memihak pada rakyat, sepenuhnya tergantung pada pemerintah. Tulisan ini hanya memberikan solusi alternatif, agar pemerintah tidak terperosok oleh lubang yang sama atau akhirnya “gali lubang untuk menutup lubang”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar